Jembatan Selat Sunda
Waspadai Potensi Reservoir Magma di Kedalaman 20 K
Jembatan Selat Sunda (JSS) yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera sudah diambang kenyataan. Mega proyek yang diperkirakan menelan biaya konstruksi sekitar Rp100 triliun itu, direncanakan akan dimulai pada 2012. Apa kata, Sang Begawan Teknik Sipil Prof DR Ir Wiratman Wangsadinata tentang JSS?
Setelah sukses berkontribusi dalam pembangunan Jembatan Suramadu, teknologi Cina dikabarkan akan kembali diterapkan di JSS. Pilihan tersebut bukan tanpa sebab, setidaknya Cina merupakan negara paling produktif dalam membuat jembatan ultra panjang di dunia. Dalam setahun, negeri tirai bambu itu sanggup membangun 100-150 jembatan dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Bukan main! Jembatan ultra panjang di Cina yang baru selesai dibangun pada 2009 lalu antara lain Xihoumen, jembatan gantung yang merupakan bagian dari jembatan penghubung beberapa pulau di Zhoushan, selatan Shanghai.
Jembatan ini menerapkan teknologi Generasi ke-III, setelah Jembatan Selat Messina di Italia. Xihoumen memiliki rentang antar tiang atau pilon mencapai 1.650 meter, sehingga Cina dinilai cukup berpengalaman dalam membangun jembatan berskala besar.
Generasi ke-III: Teknologi jembatan gantung paling mutakhir Menurut pakar jembatan Prof DR Ir Wiratman Wangsadinata, teknologi jembatan gantung telah mengalami perkembangan melalui 3 generasi. Pada Generasi ke-I terdiri dari dek berupa gelagar rangka (truss girder) yang kaku, berat, serta memiliki pilon yang kaku. Jembatan model ini kurang memiliki ketahanan terhadap terpaan angin dan goncangan gempa serta tidak dapat mencapai bentang tengah yang panjang. Contohnya, Jembatan Golden Gate di San Francisco,
USA (1937).
Generasi ke-II, terdiri dari dek berupa gelagar kotak tunggal (single box girder) yang kaku. Bentuk penampang aerodinamik relatif ringan dengan pilon relatif kaku. Jembatan gantung Generasi ke-II ini memiliki ketahanan cukup baik terhadap terpaan angin dan goncangan gempa serta dapat mencapai bentang tengah yang cukup panjang. Contohnya, Jembatan Great Belt-East di Denmark (1998) dengan bentang tengah mencapai 1.624 m. Pada Generasi ke-III, dek berupa gelagar majemuk (multi box girder) yang relatif fleksibel dengan bentuk penampang sangat aerodinamik. Volume jembatan relatif ringan dengan pilon relatif fleksibel.
Jembatan gantung generasi ini memiliki ketahanan terhadap gempa dan angin lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya serta dapat mencapai bentang tengah yang panjang. Contohnya, Jembatan Messina di Italia (2010) yang memiliki bentang tengah sepanjang 3.300 m. Pada Jembatan Selat Sunda kata Wiratman, terdapat 2 buah jembatan gantung yang menerapkan teknologi dari Generasi ke-III dengan bentang 2.200 meter dan kedua bentang samping masing-masing 800 meter. Total panjang bentang mencapai 3.800 m. Jembatan ini akan melangkahi alur laut yang menjadi lalu lintas kapal internasional. Selebihnya terdiri dari jembatan beton biasa dengan masing-masing bentang 200 m dari jenis balanced cantilever. ”Bentang 200 meter ini sengaja dipilih untuk melangkahi jurang-jurang laut kecil di sepanjang lintasan jembatan,” jelasnya.
Sebagai bahan referensi, untuk jembatan gantung ultra panjang JSS berkiblat pada Jembatan Selat Messina di Italia. Pondasi dari pilon dan blok angkernya berkiblat pada pondasi caisson Jembatan Akashi Kaikyo di Jepang. Saat ini jembatan Akashi Kaikyo masih merupakan jembatan gantung dengan bentang tengah terpanjang di dunia (1.991 m), namun jembatan ini masih menggunakan teknologi Generasi ke-I. Sedangkan untuk jembatan betonnya, Indonesia sendiri sudah cukup berpengalaman sehingga tidak perlu mengambil referensi dari luar.
Melangkahi 2 palung laut
Dijelaskan pula, bahwa perencanaan JSS saat ini baru pada tahapan pradesain, dimana kondisi geologi Selat Sunda yang dipelajari juga baru pada data skonder. Pada tahapan desain berikutnya (basic disign) akan dilakukan pengeboran dalam jumlah besar sepanjang lintasan jembatan guna mendapatkan data primer geologi dan geoteknik.
sumber : majalah tren konstruksi edisi juni 2010